Jumat, 11 Mei 2012

chapter report

MakalahBook Report Pribadi

KEBIJAKAN PEMBARUAN PENDIDIKAN

D
I
S
U
S
U
N

Oleh :

Nama : KausaraUsman
NIM : 1109200050039
KELAS : B1
MATA KULIAH : Landasan Pendidikan
DOSEN : Dr.Sakdiyah Ibrahim, M.Pd







MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2012




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan dalam pembaruan pendidikan sering kali dituding kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan dan normative, dan memberi pedoman yang jelas bagi pengejewantahan, formulasi, implementasi dan evaluasinya. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan sering tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara sinergy, bukan sebagai komponen yang terdikotomi. Artinya apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih terlepas dari ruang lingkupnya.
Pembaruan pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan hidup dan penghidupan. Apa yang berbeda dalam setiap langkah dan prospek pembaruan yang akan datang, akan semakin cepat dan mempengaruhi setiap bagian dari kehidupan, termasuk nilai-nilai kepribadian, kesusilaan, kedaerahan, baik secara individu maupun kelompok. Dalam terminologi sistem, kebermaknaan pembaruan sangat diperlukan bila sistem tersebut tidak kena entrophy.
Pandangan ini menunjukkan bahwa dorongan untuk melakukan pembaruan mempunyai kekuatan dan sumber-sumber pendorong tertentu. Kekuatan-kekuatan tersebut dapat berupa budaya kerja, kemungkinan dari perbedaan kultural, peningkatan profesional, dan banyak hal baru yang memerlukan keterampilan baru pula. Sumber kekuatan teknologi, dapat bersumber dari otomatisasi sistem, komputerisasi, atau merekayasa kembali. Sumber kecenderungan sosial mungkin dari pertumbuhan dan peningkatan pendidikan tinggi, penangguhan usia perkawinan. Sumber kekuatan globalisasi, mungkin dari pengaruh pasang surut pasar dunia, persaingan global, merger, akuisisi, dan konsilidasi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan dalam latar belakang di atas dapat di kelompokkan dalam beberapa rumusan masalah yang di bahas dalam book report ini adalah:
1. Bagaimana konsep tentang kebijakan pembaruan pendidikan.
2. Bagaimana teori dan metodelogi kebijakan pembaruan pendidikan.
3. Bagaimana objek studi analisis kebijakan pendidikan.

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan book report tentang kebijakan pembaruan pendidikan ini untuk mengetahui makna dari konsep, teori, metodelogi dan studi analisis mengenai kebijakan pembaharuan pendidikan itu sendiri.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah dan makna teori kebijakan
Kejelasan maknawiyah tentang kebijakan dapat ditelusuri dari literatur kebijakan tentang ketatanegaraan yang menganggap bahwa ilmu kebijakan sering di anggap lebih dekat kepada Administrasi Negara di bandingkan dengan ilmu politik.
Ilmu kebijakan pendidikan sejak usaha-usaha awal penetapan peraturan-peraturan yang sah. Dalam sejarahnya ada tiga jenis fase perkembangan sumber teori kebijakan, yaitu fase sebelum abad ke 19 dikenal dengan empat sumber teori kebijakan yaitu:
1. Kode Hammurabi, yaitu kode yang mengatur hak dan kewajiban dengan mencantumkan persyaratan sosial-ekonomi bagi kehidupan masyarakat transisi Babilonia pada aspek: prosedur kriminal, hak milik, perdagangan, hubungan keluarga, perkawinan, dana kesehatan, pertanggungjawaban politik.
2. Paranormal/Ahli Nujum, yaitu usaha meramal dampak untuk memperbaiki kebijakn lebih lanjut dari para Penasihat Kerajaan, seperti dalam “Kitab Arthashastra” Kautilya (300 SM) di Mauyan, India Utara; atau dalam “Pholitics and Ethics” Aristoteles (384-322 SM) di Macedonia.
3. Pengetahuan dispeliasisasikan, yaitu ketika masuknya pengaruh ilmu pengetahuan dari golongan akademisi, seperti pengaruh Pendeta/Rohaniawan dan/atau Sarjana-sarjana Ilmu Sosial.
4. Revolusi Industri, yaitu ketika mulai menggunakan pendekatan ilmiah dalam setiap pemecahan masalah, termasuk dalam aspek Manajemen Ilmiah dan Analisis Sistem.
Fase kedua, pada abad ke-19 yang ditandai dengan dimulainya uji coba penerapan ilmu pengetahuan dalam aspek kehidupan antara lain:
1. Pertumbuhan penelitian Empirik, yaitu dengan penerapan ilmu statistik, demografi, survei yang bersifat empiris tentang masalah kemiskinan, gelandangan, penyakit, dan kontrol politik.
2. Tumbuhnya stabilitas yang diakibatkan oleh dominasi eksekutif terhadap legislatif dan ketidak seimbangan pelaku-pelaku sosial-ekonomi.
3. Sumber-sumber prkatis pengetahuan yang dispesialisasikan, yaitu pada masa di mana pengetahuan ini dikemas dan dijadikan “Ilmu”.
Fase ketiga pada abad ke-20 yang ditandai dengan semakin gencarnya gerakan implementasi ilmu pengetahuan seperti:
1. Profesionalisasi ilmu sosial yang mengkaji masalah-masalahkebijakan dan merumuskan alternati solusinya.
2. Gerakan ilmu-ilmu kebijakan yang disumbang dari pemikiran Webber dan Mannheim, ilmu kebijakan publik merupakan bidang kajian Ilmu Administrasi Negara, rumpun utama Ilmu Politik.
3. Perspektif “analycentric” yaitu pembatasan masalah kedalam bagian-bagian yang dalam membandingkan, mengevaluasi dan memberikan rekomendasi melalui probabilitas numerik.
4. Pelembagaan penelitian dan analisis kebijakan yang berupa profesionalisme keilmuwan dari aspek substansi, proses, metodologi, dan konteks melalui lembaga-lembaga advokasi.
5. Analisis kebijakan dalam masyarakat pasca industri yang bertujuan untuk menanggapi kelesuan ekonomi akibat perang, dan reaksi terhadap pelaksanaanpemerintahan, dengan ciri-ciri pemusatan ilmu pengetahuan teoritis, kreasi teknologi intelektual, meluasnya kelas ilmu pengetahuan, perubahan dari barang kepelayaran, instrumentalisasi ilmu, produksi dan penggunaan informasi.
6. Bimbingan teknokratik yaitu pengetahuan yang relevan dengan kebijakan semakin langka, sehingga memerlukan peningkatan kekuasaan dan pengaruh dari analisis kebijakan yang profesional; dan penyuluh teknokratik yaitu peranan utama analisis kebijakan untuk mengesahkan kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang riil.
7. Assessment/penilaian yaitu analisis kebijakan pada dasarnya tidak lepas dari prose politik yang merefleksi dinamika dan konflik nilai di lingkungan masyarkat. Karena itu analisis kebijakan lebih bersifat politis sehingga pengembangan analisis kebijakan bukan hanya tugas intelektual atau kelimuan semata.

B. Model Proses Analisis Kebijakan
Proses analisis kebijakan sebaiknya dipahami dari aspek perumusannya. Berkaitan dengan rumusan kebijakan, Pal (1996) mengemukakan empat elemen yang saling berkaitan yaitu : (1) faktor lingkungan yang mempengaruhi; (2) isi kebijakan itu sendiri termasuk di dalamnya maksud dan tujuan kebijakan; (3) perumusan masalah dan alat yang digunakan untuk melaksanakan kebijakan tersebut; serta (4) akibat yang terjadi yang sesuai dengan lingkungan sekitarnya.
Metodelogi analisis kebijakan berkenaan dengan sistem standar, aturan dan prosedur untuk menciptakan, menilai secara kritis, dan mengomunikasikan pengetahuan yang relevan untuk merumuskan dan memecahkan masalah-masalah kebijakan. Mettodelogi ini dapat bersifat deskriptif yaitu mencari pengetahuan tentang sebab akibat Normatif yaitu mengkritisi sistem nilai; Multiplisisme yaitu proses triangulasi dalam mengembangkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan melalui operasionisme berganda, penelitian multimedia, sistesis-analisis berganda, analisis multivarian, analisis pelaku berganda, analisis perspektif berganda, dan komuniikasi multimedia; sedangkan informasi yang relevan untuk kebijakan berkenaan dengan aspek masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, kinerja kebijakan, dan masalah kebijakan.
Pada aspek proses perumusan kebijakan, berkenaan dengan: penyusunan agenda kebijakan, yaitu menempatkan masalah pada agenda publik; formulasi kebijakan yaitu merumuskan alternatif kebijakan berdasarkan pertimbangan lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif; Adopsi/penentuan kebijakan, yaitu pemilihan alternatif yang diadopsi menjadi suatu kebijakan, bisa secara konsensus atau berdasarkan mayoritas; Implementasi kebijakan yaitu pelaksanaan pada unit-unit administratif melalui mobilisasi sumber daya; Evaluasi kebijakan yaitu pemeriksaan dan penilaian terhadap proses dan hasil kebijakan berdasarkan persyaratan peraturan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan.
Dengan demikiaan dapat disimpulkan bahwa, dalam setiap analisis kebijakan publik paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik.
C. Persoalan-persoalan Implementasi Kebijakan
Suatu kebijakan akan menemui banyak masalah pada tahap pengeimplementasiannya, karena itu alternatif yang di pilih oleh pembuat kebijakan, harus dapat diimplentasikan. Masalah tersebut sering diartikan secara sederhana, padahal masalah oleh seseorang mungkin menguntungkan bagi orang lain. Sehubungan dengan sifat praktis dan terkandungnnya tujuan dalam perumusan kebijakan, maka implementasi kebijakan berkenaan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi para pelaku. Namun, ketika kegagalan kebijakan terjadi, maka perlu dikaji apakah karena perumusan kebijakan tersebut memang buruk atau kesalahan dalam mengimplementasikannya.
Keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan dapat dievaluasi kemampuan kebijakan tersebut yang secara nyata dalam mengoperasikan program-program yang telah dirancang sebelumnya. Sebaliknya proses implementasi kebijakan perlu di evaluasi dengan cara mengukur dan membandingkan antara hasil akhir program-program yang dilaksanakan dengan tujuan-tujuan kebijakan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan belum mendapat perhatian yang serius di negara-negara yang sedang berkembang (termasuk indonesia), karena kebanyakan para perumus kebijakan dengan desentralisasi dan otonomi daerah lebih suka menggunakan pendekatan The Compliance Approach dari pada the political Approach. Mereka beranggapan apabila suatu kebijakan sudah ditetapkan dan sudah diumumkan menjadi suatu kebijakan publik serta-merta akan dapat diimplementasikan oleh para pegawai pelaksana secara teknis tanpa ada unsur-unsur atau kendala politik apapun, dan hasil yang diharapkan segera akan di capai. Padahal, pada kenyataannya tidaklah demikian, justru pada saat inilah proses kebijakan di mulai.
D. Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan pendidikan yang digunakan di indonesia sepertinya lebih banyak menggunakan model analisis kebijakan politik publik yang didasarkan pada asumsi-asumsi politis. Indikatornya dapat di kemukakan:
Pertama ketidakjelasan dalam asumsi-asumsi yang digunakan terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan. Kompleksitas dan heterogenitas jenis, sifat, dan situasi yang disebut sekolah selalu diidentikan dengan pendidikan. Sehingga tidak heran manakala membicarakan sistem pendidikan ternyata yang dibahas adalah sistem persekolahan. Menganalisis kebijakan pendidikan yang dianalisis ternyata kebijakan penyelenggaraan persekolahan. Akibatnya, paradigma pendidikan yang universal dipandang secara sempit, dan lebih banyak adaptif daripada inisiatif.
Kedua dalam melakukan analisis kebijakan kebijakan pendidikan kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirial, evaluative, normative, predictive yang memberi pedoman jelas bagi pengejewantahan formulasi, implementasi dan evaluasi kebijakan. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan tidak diformulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diitegrasikan secara “sinergi” bukan komponen yang “terdikotomi” artinya, apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih ada butir-butir yang lepas dari ruang lingkupnya.
Kebijakan politik republik yang menetapkan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sebetulnya memiliki orientasi yang sangat jelas, yaitu kemandirian dalam penyediaan SDM. Namun kebijakan politik ini tidak serta merta berwujud realitas karena beberapa alasan yaitu:
Pertama sebagian besar komponen dana dalam struktur APBN 2003 tidak dapat dialokasikan (unallocated) yaitu 34% untuk pembayaran utang dan 25% untuk dana perimbangan. Kondisi ini memang tidak mudah bagi pemerintah karena pembagian “kue APBN” pada dasarnya adalah zero-sum, naiknya anggaran pendidikan harus dipahami mengandung risiko berkurang “pembagian kue” untuk sektor lain sampai saat ini kita berada pada point of no return. Pada 2005, anggaran pendidikan sesungguhnya menurut salah seorang anggota Komisi VI DPR sudah mencapai 17,9% atau 2,1% lagi untuk mewujudkan posisi perubahan Pasal 31 Ayat (3) UUD 1945. Persentasi ini diperoleh dari besarnya anggaran pendidikan pada departemen/institusi lain serta lokasi APBD untuk pendidikan.
Kedua “komitmen setengah hati” dari wakil-wakil rakyat sendiri. Secara politis, dalam merumuskan kebijakan, para wakil rakyat sepertinya hanya “manis di mulut pahit di hati”. Ada diantara mata anggaran yang seharusnya untuk membiayai sektor-sektor pembangunan yang krusial kurang mendapat persetujuan pihak DPR, atau sekalipun mendapat persetujuan, tetapi anggarannya kurangmemadai. Sungguh ironis, apabila dibandingkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menyangkut tugas pokok DPR sendiri malah mendapat anggaran yang jauh lebih besar sehingga muncul apa yang di sebut “uang duduk, uang sidang, uang lelah” dan pada akhirnya, muncul plesetan DPR menjadi “Dewan Perampok Rakyat” dan plesetan-plesetan lainnya yang sebetulnya merupakan bentuk-bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap sikap profesionalisme para wakil-wakilnya di DPR.
Dalam terminologi seperti itu, analisis kebijakan pendidikan sering diartikan sebagai suatu proses pengkajian pendidikan secara substansial, bukan pada proses pengkajian terhadap kebijakannya. Walaupun analisis kebijakan pendidikan dimaksudkan untuk menguraikan dan menjelaskan latar belakang, alasan, serta akibat dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh suatu pelaku kebijakan.Menurut pendapat penulis pengertian tersebut mengandung mengandung kekeliruan, kekeliruan tersebut harus segera diperbaiki dengan jalan:
Pertama analisis kebijakan dalam pendidikan harus mengkaji subtansi, proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan sudah merujuk kaidah-kaidah keilmuan atau tidak. Apabila studi tentang analisis kebijakan pendidikan dipandang dari sudut keilmuan, jelas mempunyai makna imperatif dan harus merujuk pada paradigma filsafat keilmuan yang mempunyai objek studi dan metodelogi.
Kedua pengembangan asumsi-asumsi dalam kebijakan pendidikan harus merujuk pada asumsi-asumsi pendidikan yang dikembangkan dalam paradigma filsafat pendidikan yang universal, bukan merujuk pada paradigma filsafat politik dan ketatanegaraan.
Ketiga proses analisis terhadap kebijakan pendidikan tidak parsial, tetaplah haruslah komprehenshif dan multidisipliner menyangkut rumusan, implementasi dan evaluasi dampaknya. Analisis perumusan kebijakan tersebut meliputi komponen-komponen yang secara eksplisit termuat dalam rumusan kebijakan, komponen-komponen tersebut adalah:
1. Ruang lingkup kebijakan;
2. Asumsi-asumsi dasar;
3. Tujuan dan sasaran;
4. Kriteria;
5. Mekanisme atau prosedur yang harus di tempuh;
6. Dukungan sumber daya yang dibutuhkan;
Keempat kebijakan pendidikan tidak bisa didekati dengan hanya menggunakan pendekatan The Compliance Approach atau The Political Approach secara sendiri-sendiri, tetapi harus secara integratif. Pengalaman menunjukkan bahwa implementasi kebijakan bukan hanya sekedar proses teknis, melainkan merupakan suatu proses interaksi dinamis antara unsur-unsur politik, sosial, ekonomi, dan prilaku birokrat.
E. Objek Studi Analisis Kebijakan Pendidikan
Analisis kebijakan pendidikan dilakukan secara komprehensif, yang mencakup rumusan, implementasi kebijakan. Proses analisis sebetulnya harus beranjak dari kajian terhadap rumusan kebijakan apakah yang menjadi Boundary System. Analisis terhadap kondisi implementasi dari setiap rumusan kebijakan merujuk gambaran ideal pelaksanaan kebijakan pada semua tingkatan pelaku kebijakan sebagaimana tertuang dalam rumusan kebijakannya. Kemudian permasalahan-permasalahan yang muncul dala pelaksanaan kebijakan pendidikan tersebut, dikaji sampai pada ditemukannya faktor-faktor yang menyebabkan hambatan, halangan, gangguan dalam mengimplementasikan kebijakan yang dimaksud.
Implikasi terhadap proses manajemen pendidikan, berkenaan dengan perangkat operasional sistem manajemen yang menyangkut proses-proses operasional organisasi dan kepemimpinan. Bila dikaitkan dengan substansi pendidikan sebagaimana digambarkan di muka, maka alasan-alasaaaaan mengapa kebijakan pendidikan memerlukan proses analisis terhadap organisasi dan kepemimpinan yaitu:
1. Wawasan tentang kependidikan dan komponen-komponen yang tidak terdapat dalam substansi sistem manapun kecuali dalam sistem pendidikan.
2. Manajemen pendidikan memfokuskan perhatian pada proses mengembangkan potensi peserta didik secara optimal, dan berperan sebagai wahana penyediaan kemudahan (fasilitas) bagi kepentingan proses tersebut.
3. Sistem pendidikan memiliki komponen bukan manusia yang khas berupa kurikulum (materi/bahan, metodelogi/teknologi pendidikan media dan sumber belajar media serta alat/sarana pendidikan.
4. Sistem pendidikan memiliki komponen manusia berupa pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Pengadaan, penempatan, pembinaan, dan pengembangan (supervision) tenaga pendidik senantiasa bermuara pada keperluan pengembangan profesi peserta didik secara optimal.
5. Hubungan manajerial antara pengelola dengan orang yang dikelola berada dalam posisi sederajat.
6. Efisinsi efektivitas dan produktivitas pengelolaan kegiatannya memerhatikan martabat manusia.
Untuk menilai layak tidaknya suatu kebijakan harus di lihat dari ukuran-ukuran berikut:
1. Dari aspek formulasi kebijakan pendidikan ialah : (a) filsafat pendidikan yang dipakai dasar penyelenggaraan pendidikan; (b) teori dal ilmu yang dipakai rujukan untuk setiap komponen pendidikan (general theory, middle range theory dan operational theory); (c) sistem nilai yang dijadikan dalam pengembangan asumsi-asumsi yang melandasi praktek-praktek pendidikan.
2. Pada tatanan implementasi kebijakan ialah : (a) Prioritas permasalahan pada setiap aspek substansi pendidikan; (b) pendekatan proses dan prosedur implementasi yang digunakan; (c) peran-peran pelaku kebijakan dari policy maker, organizational level dan operational level; (d) setting lingkungan yang sangat memungkinkan berpengaruh terhadap keseluruhan aspek kebijakan, baik pada saat proses perumusan, implementasi, maupun lingkungan itu sendiri.
3. Pada tatanan evaluasi kebijakan pendidikan berkenaan dengan norma, alat ukur dan prosedur yang digunakan. Terutama terhadap aspek: (a) dampak terhadap efisiensi penggunaan sumber daya; (b) kemanjurannya terhadap pencapaian target and means; (c) akuntabilitas para pelaku kebijakan pada semua tingkatan.

F. Metodologi Studi Kebijakan Pendidikan
Jika ingin melakukan studi analisis terhadap implementasi suatu kebijakan, dapat menggunakan format analisis yang pada umumnya menyangkut empat langkah yaitu: (1) bagaimana anda mendeskripsikan kondisi nyata (existing condition) tentang implementasi kebijakan itu; (2) bagaimana anda dapat merumuskan tujuan dan sasaran kebijakan yang diinginkan; (3) bagaimana anda dapat merumuskan asumsi-asumsi strategis yang mendasari alternatif tindakan; dan (4) saran tindak atau strategi perbaikan atau peningkatan kebijakan lebih lanjut.
Untuk menentukan pilihan metodologi mana yang paling relevan dalam studi kebijakan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan yaitu:
1. Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Masyarakat
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakikat tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus.
Persoalan sekarang adalah pendidikan yang bagaimana yang sesuai dengan kehendak masyarakat yang penuh kebhinekaan. Politisi, akademisi, praktisi, cenderung dapat menjawab sekalipun sangat bervariasi. Namun manakala dihadapkan pada pertanyaan bagaimana sistem manajemen yang dapat mengelola proses pendidikan yang penuh kebhinekaan tersebut, memang banyak para ahli telah merumuskan apa itu pendidikan, apa itu tujuan pendidikan, dan apa itu administrasi pendidikan. Tetapi tujuan pendidikan itu sendiri sering menjadi kabur. Malahan jika sampai pada tujuan operasional terdapat konflik dan ketegangan yang cukup tajam.
Dengan kondisi seperti itu, berdampak pula pada para ilmuwan dan cendikiawan kebijakan dan manajemen pendidikan, yang ide-ide konsep, teori yang tidak relevan dengan tujuan-tujuan tersebut. Diakui bahwa pendidikan tidak bebas nilai dan tidak juga bebas budaya. Pendidikan nasional memang diarahkan pada pembentukan warga negara, dan karena itulah pendidikan menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa.
2. Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Politisi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warga negara yang benar dan bertanggung jawab.
Orang yang telah berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan, sikap dan perilakunya semakin demokratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
3. Tujuan Kebijakan Dilihat dari Tingkatan Ekonomi
Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka panjang, dengan alasan bahwa:
Pertama pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu peserta didik (siswa) untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitip.
Kedua investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik dibidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunis kerja.
Berdasarkan tujuan-tujuan kebijakan sebagaimana dipaparkan di muka, maka nilai-nilai yang dijadikan acuan dalam menilai suatu kebijakan pembaruan dalam penyelenggaraan pendidikan senantiasa didasarkan pada iga aspek berikut:
Pertama menurut pendekatan ekonomi berkenaan dengan nilai-nilai:
a. Teknis ekonomis, merujuk pada kontribusi pendidikan dalam membantu peserta didik untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.
b. Moneter merujuk pada kontribusi pendidikan berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan di bawahnya.
c. Nonmoneter merujuk pada diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efesien konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama.

Kedua, menurut pendekatan politis , berkenaan dengan sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnay pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warga negara yang benar dan bertanggung jawab.
Ketiga menurut pendekatan budaya berkenaan dengan nilai-nilai:
a. Sosial kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin;
b. Budaya masyarakat merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estesis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang bai.
c. Kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Di masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan.







makalah budaya organisasi